Jumat, 20 April 2012

Filsafat Pancasila


I
Pendahuluan

Dalam makalah ini, sebelumnya penulis akan mencoba mengklarifikasi perbedaan antara pengertian pancasila sebagai cabang filsafat, dengan filsafat dari sudut pandang pancasila. Dr. P. Hardono Hadi dalam bukunya yang berjudul Hakikat dan Muatan Pancasila, menulis bahwa “Filsafat Pancasila” bisa dimaksudkan sebagai cabang filsafat yang mempunyai objek pembahasan “Pancasila”. Dari lain pihak, “filsafat Pancasila” bisa juga dimaksdukan sebagai filsafat atau aliran filsafat yang bisa digelar berdasarkan muatan-muatan filsafat atau aliran filsafat yang bisa digelar berdasarkan muatan-muatan ajaran yang termaktub dalam “Pancasila”[1]. Dari sini, kita dapat mengukur dengan merenungkan lebih dalam apa yang sebenarnya menjadi pijakan kita dalam memandang Pancasila sebagai dasar dan pedoman Bangsa dan Negara kita tercinta ini, apakah Pancasila merupakan suatu pandangan filosofis yang perenungannya akan menghasilkan fungsi praktis jika diamalkan, ataupun sebaliknya, hanya merupakan teori belaka yang kemudia begitu saja dapat pudar, hilang, dan dilupakan?
       
     Masih dalam bukunya, Dr. P. Hardono Hadi merumuskan beberapa hal mengenai pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, yang kesimpulannya adalah, bahwa Pancasila sebagai “falsafah” hidup atau Weltanschauung dan sebagai dasar negara tidak dapat diganggu gugat. Selain itu, sebagai warga negara Indonesia, Pancasila mutlak perlu dipelajari lebih dalam, dihayati, direnungkan, dan diamalkan dengan baik dan benar sesuai dengan norma-norma yang tumbuh hidup dalam kehidupan bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan membentuk sistem ide yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, pancasila jika hanya berada dalam sistem filsafat tertentu, boleh saja dibantah, dirobohkan, dan dicari lagi perumusan yang baru yang dianggap lebih sempurna, namun Pancasila sebagai falsafah negara dan Weltanschauung bangsa Indonesia, Tidak Dapat Diganggu Gugat.
            Mempelajari lebih dalam, menghayati, mereungkan, dan akhirnya mengamalkan dengan baik dengan benar akan Pancasila merupakan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi pelaksanaan dari titk tersebut bukanlah perkara yang mudah, sebab kita akan di lemparkan kepada Hakikat Pancasila, yang terkandung dalam sila-sila maupun butir-butirnya. Kita juga akan di hadapkan pada norma-norma yang mengandung nilai-nilai tersendiri, dan untuk memahami itu semua, dibutuhkan pengetahuan serta ilmu yang akan didapat dengan adanya keauan untuk mempelajarinya secara terus-menerus. Kemauan, pada akhirnya akan menjadi dasar atau landasan utama, untuk menjadi seorang yang memiliki jati diri berasaskan, Pancasila.

II
Permasalahan

Pada bab sebelumnya, sedikit telah saya tuliskan mengenai mempelajari, menghayati, dan mengamalkan pancasila dengan baik dan benar, yang selanjutnya akan menjadi rumusan masalah dari makalah yang saya, penulis, akan coba buat. Penghayatan, dan pengalaman Pancasila itu merupakan suatu urutan yang satu-sama lain tidak dapat saling mendahului. Untuk dapat mengamalkannya dengan baik, kita harus terlebih dahulu menghayatinya, jika perlu, secara mendalam.
Nilai-nilai filsafati  Pancasila di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 diberi kedudukan sebagai dasar negara, tidak akan berarti apa-apa jika kita sebagai obyek pendukungnya tidak mampu untuk mengamalkannya sehari-hari. Lebih dalam lagi, penghayatan pancasila secara utuh jelas membutuhkanilmu dan pengetahuan sebagai dasar untuk mengerti akan hakikat pancasila. Pada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1978 dinyatakan pula bahwa pengamalan pancasila itu dapat juga dinamakan sebagai Ekaprasetya Pancakarsa yang memberi petunjuk yang jelas dan terwujud dalam pengamalan kelima sila dari pancasila, lebih lanjut pembahasaannya akan termuat pada bab selanjutnya.
Penghayatan dan Pengamalan, dalam hal ini jelas merupakan sebuah bentuk kesadaran, yang artinya, jika dilakukan, maka mengindikasikan adanya kemauan dari seseorang. Dengan didorong oleh rasa kesadaran inilah, yang didasari oleh pengetahuan/pengertian yang sebaik-baiknya serta jelas tentang kebenaran tadi, mempulah kita untuk mengembangkan serta mengamalkan pancasila dengan sebaik-baiknya. Penghayatan pancasila ini dapat dikembangkan secara terus menerus hingga lahirlah mentalitas Pancsila yang dapat mweujudkan kesatuan cipta, rasa, karsa dan karya dalam mengemban hak dan wajib atas dasar nilai-nilai pancasila dalam kehidupan kita.


III
Pembahasan

Prof. Drs. H.A.W Widjaja dalam bukunya menuliskan, menurut Prof Notonegoro, yang didalam kuliahnya pernah dinyatakan bahwa manusia Indonesia seutuhnya adalah:
1)      Berfilsafat Pancasila
2)      Berkpribadian Pancasila
3)      Bermoral Pancasila
4)      Berkesadaran bernegara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, yang memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan berpegang teguh kepada cita-cita moral rakyat Indonesia yang luhur serta taat kepada dan menjunjung tinggi hukum yang bersumber kepada Pancasila[2]
Dari uraian dan rumusan diatas jelaslah telihat makna dari apa yang disampaikan  oleh Prof. Notonegoro, bahwa begitu pentingnya Pancasila untuk dihayati, dan diamalkan oleh seluruh bansga Indonesia, sebagai kewajiban agar kita, seorang Warga Negara Indonesia dapat menjadi Manusia Indonesia seutuhnya. Titik tolak  penghayatan pancasila adalah kemauan serta kemampuan manusia Indonesia itu dalam mengendalikan dirinya serta kepentingannya agar dapat memenuhi kewajibannya menjadi warga negara yang baik. Dengan berpangkal tolak yang demikian tadi maka untuk menjadi manusia Pancasila adalah:
1)      Tidak akan menitikberatkan kepada kepentingan diri sendiri atau prubadinya saja, tetapi harus ada kesadaran bahwa dirinya merupakan mahluk sosial di dalam kehidupan masyarakat.
2)      Sehingga kewajibannya terhadap masyarakat harus dapat diutamakan dari kepentingan pribadi.
Pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila disebutkan sebayak 36 butir, lebih lanjut lagi dalam bukunya, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, Prof. Drs. H.A.W Widjaja menyebutkan petunjuk nyata dan jelas kelima sila yang tertuang pada naskah p-4 sebagai lampiran ketetapan MPR No. II/MPR/1978 dinyatakan mengenai pengamalan  kelima sila dari pancasila sebagai petunjuk yang jelas dan terwujud[3], yaitu:
1)      Sila Ketuhanan yang Maha Esa
Percaya dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa menjadi kewajiban bagi tiap-tiap manusia sebagai mahluk Tuhan. Harus saling hormat-menghormati antara pemeluk agama yang berbeda-beda, sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa manusia sebagai mahluk tuhan dapat hidup rukun. Tidak memaksakan kepada orang lain untuk beragama, sehingga orang yang beragama itu atas kesadaran sendiri
2)      Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagai manusia yang dilengkapi dengan akal, rasa, kehendak harus dapat mencintai sesama manusia. Harus dapat mengembangkan sikap tenggang rasa. Terhadap sesama manusia harus dapat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
3)      Sila Persatuan Indonesia
-          Di dalam sila ketiga ini kita sebagai manusia Indonesia harus menaydari bahwa kita bertanah air Indonesia, sehingga harus cinta tanah air dan bangsa.
-          Di dalam pergaulan satu sama lain harus dapat menunjukkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika.
4)      Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
-          Disini kita sebagai manusia Indonesia yang merasa mempunyai sifat Individu dan mahluk sosial harus dapat mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
-          Untuk mengambil suatu keputusan demi kepentingan bersama harus dengan jalan musyawarah bersama
-          Di dalam musyawarah untuk mencapai mufakat harus diliputi oleh semanagat kekeluargaan
-          Keputusan yang diambil itu harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral, serta menjunjung tinggi martabat manusia serta nilai kebenaran dan keadilan.
5)      Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
-          Sebagai manusia Indonesia atau rakyat Indonesia harus dapat bersikap adil serta manjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
-          Jangan sampai melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
-          Harus dapat berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
            Masih dalam bukunya, Prof. Drs. H.A.W. Widjaja menjelaskan betapa sila-sila dalam Pancasila adalah berkaitan erat, bahwa antara satu sila dengan sila lainnya tidak dapat dipisahkan, sehingga permasalahn yang mengutamakan sila pertama, juga akan menyangkut-pautkan sila kedua, ketiga, dan keempat. Beliau mengutarakan bahwa, mengenai susunannya, pancasila adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramida. Pengertian matematika piramida menurut prof notonegoro, S.H. adalah dipergunakan[4] untuk menggambarkan hubungan hierarkisdari sila-sila pancasila dalam urutan luas (kuantitas) dan dalam hal isinya (kualitas) dan dalam saat terjadinya. Sila yang dibelakang sila lain lebih sempit luasnya, tetapi lebih banyak isinya dan sifatnya sertamerupakan pengkhususan daripada sila-sila yang di mukanya dan terjadinya sesudah sila-sila yang dimukanya itu[5].

            Contoh urutan sila-sila Pancasila sebagai kesatuan keseluruhan dalam hubungannya hierarkis piramidal itu adalah sebagai berikut:
1)      sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa adalah meliputi serta menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan seterusnya.
2)      Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Maha Esa, serta meliputi dan menjiwaisila-sila selanjutnya
3)      Sila ketiga: Persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab serta menjiwai dan meliputi sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebjiksanaan / permusyawaratan rakyat dan seterusnya
4)      Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan / permusyawaratan rakyat adalah dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, serta meliputi dan menjiwai sila yang kelima.
5)      Sila kelima: Keadilan sosial bagib seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan dijiwai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan /permusyawaratan rakyat sertakeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila-sila Pancasila merupakan kesatuan yang bulat. Maka esensi seluruh sila-silanya jgua merupakan kesatuan. Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia yang asli, yang sudah menjadi unsur-unsur pancasila, telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala.Pancasila itu sendiri, terdapat di dalam dirinya sendiri, sehingga, Pancasila adalah suatu substansi yang mengandung esensi.
Berbicara mengenai substansi, dengan sendirinya juga berbicara mengenai esensi, hingga bersambung terus dan akhirnya akan membawa kita kepada persoalan mengenai hakikat. Hakikat dalam pancasila memiliki arti tersendiri dan berbeda pada masing-masing silanya. Artinya dapat menjadi begitu luas, tergantung pada bagaimana kita memandang Pancasila. Artinya juga berbeda-beda, karena memang diciptakan dengan tujuan yang demikian, sehingga seperti yang saya katakan diatas, cakupannya itu sendiri dengan sendirinya menjadi luas, bahkan menyeluruh, mengilhami kehidupan berbangsa dan bernegara kita, Indonesia. Akan tetapi, dari esensi yang berbeda-beda itu kita perlu, atau bahkan wajib, memegang teguh satu inti, satu esensi, tersembunyi namun terlihat, bisu namun lantang, bahwa esensi, inti dari pancasila adalah, Bhineka Tunggal Ika, yang artinya, walaupun berbeda-beda, namun tetap satu jua.

            Setelah Pancasila dipelajari, kemudian dihayati lebih mendalam, maka kita sebagai manusia Indonesia wajib mengamalkan Pancasila. Dalam pengamalan Pancasila, dapat dibedakan menjadi pengamalan subyektif dan pengamalan yang obyektif. Pengamalan subyektif dan obeyektif ini tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap yaitu dengan cara melalui pendidikan di sekolah, dalam masyarakat, dalam keluarga, dalam didik diri, sehingga akan didapat secara urut sebagai berikut:
1)      Pengetahuan dalam arti filsafati Pancasila
2)      Kesadaran, dengan penuh rasa sadar orang selalu ingat dan setia pada pancasila
3)      Ketaatan, dengan ketaatannya seseorang bersedia mengamalkan pancasila lahir dan batin.
4)      Kemmapuan, atas dasar kemampuan ini orang dapat melakukan perbuatan pengamalan pancasila.
Dengan demikian, jelas diketahuia bahwa pengamalan pancasil yang subyektif lebih penting dari yang obyektif, karena pengamalan secara subyektif, akan menentukan berhasil atau tidaknya pengamalan secara obyektif. Pengamalan itu sendiri harus dapat dirsaakan sebagai kewajiban moril etis yang timbul dari hati nuraninya sendiri, tidak karena dipaksa oleh keharusan hukum tersebut. Dengan demikian pengamalan secara subyektif akan dapat terlaksana dengan baik, apabila para subyeknya betul-betuld dengan penuh kesadaran dapat menghayati pancasila terlebih dahulu. Karena itu tepat sekali bahwa Pancasila merupakan pembinaan mental atas dasar falsafah Pancasila. Pada akhirnya ucapan the mind behind the man itulah yang akan menentukan di dalam pengamalan yang subyektif ini.
            Sedangkan di dalam pengamalan yang obyektif, isi pengertian yang terkandung dalam Pancasila sudah tidak lagi abstrak, melainkan umum kolektif atau dalam dalil logisnya sebagai pengertian yang partikular, yang dalam hal ini berlakunya dalam ruang lingkup dibatasi pada partikularitas tertentu. Misalnya, hanya di bidang hukum saja.
Pengamalan sila yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor II /MPR/1978 ini, dapat juga dinamakan Ekaprasetya Pancakarsa.


IV
 Kesimpulan dan Definisi

Butir-butir pancasila dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat, menyatakan dengan jelas bahwa negara Indonesia didasarkan atas pancasila, pernyataan tersebut menegaskan hubungan yang erat antara eksistensi negara Indonesia dengan Pancasila. Pancasila, merupakan pernyataan jati diri bangsa Indonesia, hal ini berserta unsur-unsur pokok didalamnya termaktub dalam hakikat Pancasila.
Dalam sebuah pernyataan “jati diri” bangsa Indonesia, maka didalamnya akan terkuak mengenai identitas bangsa,  indentitas tidak terlepas dari sebuah keunikan, keunikan negara seringkali terhimpun karena perbedaan budaya, perbedaan budaya ini mendasari terbentuk dan menyatunya wilayah-wilayah negara demi keamanan, keharmonisan, dan kesejahteraan di samping rasa sepenanggungan kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang mengikat kita? Adalah Pancasila, dasar filosofi negara, dengan esensinya yang lantang menyebutkan atas keBhineka Tunggal Ika-an Bangsa Indonesia, hingga mewujudkan persatuan dan kesatuan negara Indonesia.alasan-alasan diatas itu sendiri dapat menjadi bahan perenungan kitas sebagai manusia Indonesia untuk merengungkan kembali, dan memikirkan, betapa pancasila merupakan unsur penting negara ini.
Kita harus menyadari bahwa pancasila merupakan faktor pengikat kesatuan bansga dan negara kita, dan hanya dengan penghayatan serta pengamalan Pancasila, kita dapat lebih menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, manusia yang berbudi pekerti luhur. Tentunya, pengamalan pancasila ini, haruslah terlebih dahulu diawali dengan pemahanam, lalu penghayatan, dan perenungan akan hakikat dari Pancasila itu sendiri. Penghayatan dan pengamalan itu sendiri tidak bisa hanya didasarkan pada satu sila, ataupun sebagian saja, melainkan pada seluruh sila beserta nilai, dan butir yang ada di dalamnya. Sebab, sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dimana masing-masing diantaranya saling terkait. Pengamalan sila pertama, pasti akan membawa kita pada pengamalan sila kedua, dan seterusnya. Sebagaimana cara kita memandang Pancasila sebagai dasar filosofis di dalamnya, bahwa keutuhan Pancasila, juga menggambarkan keutuhan negara, sehingga kita, Manusia Indonesia, berkewajiban memahami, menghayati secara mendalam, serta mengamalkan Pancasila dengan baik dan benar secara utuh, dan menyeluruh.



[1]  Dr.P.Hardono Hadi, Hakekat & Muatan Pancasila, Penerbit Kanisius, 1994,hlm. 12

[2] Prof. Drs. H.A.W Widjaja, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, 2000 hlm. 75
[3]  Ibid., hlm. 73-74
[4] Notonegoro, Prof. Dr.Drs. S.h., Beberapa hal mengenai falsafah Pancasila, cetakan ke IV, Jakarta, Pancuran Tujuh, 1979.
[5] Prof. Drs. H.A.W Widjaja, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, 2000 hlm. 67-68


BY Fajar Ilham Mahafi
      FH UNDIP '09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar