Selasa, 24 April 2012

Peran Pemerintah Daerah Dalam Perjanjian Internasional



I.         PENDAHULUAN

Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah pula menciptakan interaksi yang intensif antara indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antarpemerintah tetapi juga antarindividu. Interaksi ini akan mengakibatkan meningkatnya persentuhan-persentuhan hukum antara indonesia dengan negara-negara lainnya dan bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan tumpang tindih anatar hukum internasional dengan hukum nasional dalam perjanjian internasional. Dengan fenomen ini, maka cepat atau lambat , publik hukum indonesia di semua lini harus bersentuhan dengan perjanjian internasional dan akan semakin menepis anggapan bahwa hukum perjanjian internasional bukan hanya milik diplomatik saja.   

Status negara sebagai subjek hukum internasional juga mengalamki erosi khususnya terhadap konsep tradisonal dasar mengenai kedaulatan. Hal ini di tandai dengan kecendurungan bahwa perbuatan negara yang bersifat komersial tidak lagi termasuk dalam doctrin act of state yang mengakibatkan negara dengan atribut kedaulatannya tidak lagi bebas dari tuntutan perdata., dan bahkan melahirkan konsep baru tentang state responsibility yang memungkinkan aparatur negara dapat diklaim oleh pihak asing , dan sebaliknya negara berhak mengajukan klaim atas nama warga negaranya. Di lain pihak , terdapat pula adanya perluasan ruang lingkup yuridikasi pengadilan di negara-negara asing yang sedikit banyak bersentuhan dengan negara lain sebagai subjek hukum.

Hukum perjanjian inernasional dewasa ini telah mengalami pergeseran radikal seiringa dengan perkembangan hukum inernasional. Hubungan-hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar , antara lain munculnya subjek-subjek baru non-negara disertai dengan meningkatnya interaksi yang intensif anatara subjek-subjek baru tersebut. Indonesia khususnya otonomi daerah dan lembaga non-pemerintahan yang interaksinya dengan elemenelemen asing sudah semakin meningkat.

dalam hal ini terdapat beberapa permasalahan yang timbul dibenak penulis , diantaranya perjanjian internasional dan otonomi daerah, dan seberapa besar peran pemerintah daerah dalam pembuatan perjanjian internasional. dan dalam bab selanjutnya penulis mencoba akan menjelaskan mengenai hal tersebut berdasarkan uu no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian inernasional dan UU No. 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri dan peraturan menteri luar negeri  peraturan menteri luar negeri nomor : 09/A/KP/xii/2006/01 tentang panduan umum tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah dan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah

 

II.       PEMBAHASAN

Seiring dengan proses reformasi Indonesia yang salah satu pilar utamanya adalah pembentukan sistem otonomi daerah , Peranan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting sebagai salah satu aktor dalam pelaksanaan hubungan internasional . hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 37 tahun 1999  tentang hubungan luar negeri sebagai berikut :
“ hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah , atau lembaga –lembaganya , lembaga negara, badan usaha, organisasi politik , organisasi masyarakat, lemabaga sawadaya masyarakat , atau waraga negara .”
Undang-uandanag No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah secara tidak langsung memuat pasal tentang perjanjian internasional yaitu :
Pasal 42 ayat ( 1 ) Huruf f :
“ DPRD mempunyai tugas dan wewenang memeberikan pendapat dan pertimabngan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah .”
Penjelasan “ yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam ketentuan ini adalah perjanjian antar pemerintah dengan pihak luar negeri yang terkait dengan kepentingan daerah .”
Perumusan Pasal ini tidak di dukung oleh konsepsi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam konteks pemerintah daerah. Dalam penjelasannya hanya disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah.

 
Dari Praktik internasional , kekuasaan memebuat perjanjian lainnya berada ditangan pemerintah pusat dan tidak dikenak adanya perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pratek Indonesia memang dikenal beberapa jenis dokumen yang berkaitan dengan pemerintah daerah yaitu :
1.    Dokumen yang dibuat dan ditandantangani antar pemerintah daerah :
a.         MOU kota kembat / Provinsi Kembar ( Sister City / Sister Province ) yang telah banyak dibuat oleh berbagai pemerintah daerah.
b.        Perjanjian kerjasama teknik antara Pemerintah daerah Aceh dengan Anwerpen , Belgia 1984
2.    Dokumen yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah:
a.         Pertukaran Nota 2000 dan 2001 RI – Jepang tentang SDM Perikanan di Semarang dan Rural Water Supply di Sulawesi
b.        Perjanjian Ri- Singapura tentang Supply Air dari Kepulauan Riau ke Singapura
c.         Perjanjian Ri – Singapura tentang kawasan Ekonomi Khusus Batam, Bintan dan Karimun 2006
Jika yang dimaksud dengan perjanjian internasional oleh Undang-undang ini adalah MOU Kota Kembar/Provinsi kembar maka dokumen ini belum diakui sebagai memenuhi persyaratan sebagaisuatu perjanjian internasional mengingat, para pihak tidak dimaksudkan untuk bertindak atas nama negara melainkan bertindak atas nama lembaganya . Hal Ini semakin diperkuat dengan pratik PBB yang tidak pernah menerima pendaftaran ( depository ) MOU semacam ini berdasarkan Pasal 102 piagam PBB
Namun didalam pihak, seiring dengan pemahaman yang distortif tentang perjanjian internasional, tidak pula dapat disangkal bahwa dikalangan pemerintah sendiri masih menganggap MOU semacam ini sebagai perjanjian internasional dengan pertimbangan bahwa karakternya adalah antar pemerintah ( daerah ). pemerintah pusat termasuk kementrian Luar negeri masih memerlukan Dokumen ini sebagai perjanjian internasional antara lain dengan memberlakukan mekanisme seperti yang diatur oleh UU No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian ineternasional
Dengan demikian, jika bertolak dari definisi perjanjianinternasioanl maka lebih tepat jika yang diamsudkan oleh Undang0uandang pemerintah daerah ini adalah perjanjian yang dibuat oelh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah jika kontruksi ini diambil maka akan memunculkan persoalan juridis lain yaitu bahwa perjanjian ini melalui “ pendapat dan pertimbangan dari DPRD yang disampaikan kepada pemerintah daerah mekanisme ini akan memunculkan disebut Double Ratification , yaitu Ratifikasi oleh DPR dan DPRD. Dalam Pratik Indonesia mekanisme ini tidak pernah dilakukan
Dalam Pratik Indonesia selama ini masih diarahkan Kepada Pembuat MOU Kota/ Provinsi Kembar pemerintah daerah dengan negara asing , yang ditandatangani oleh Kepala Daerah masing-masing , dengan demikian pratik ini bukan dalam rangka pembuatan perjanjian internasioanl seperti yang dimaksud dalam padal 42 huruf f UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tetapi semata-mata pelaksanaan dari pasal 42 ayat ( 1 ) huruf g yaitu
“ DPRD mempunyai tugas dan wewenang memeberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. “
Dalam pemerintahan ini maka MOU Kota /Provinsi kembar lebih tepat untuk diartikan sebagai kerjasama internsioanal ketimbang perjanjian internasioanl sehingga lebih tepat tunduk pada pasal ini sebelum membuat MOU ini pemerintah daerah harus memperoleh persetujuan dari DPRD.
Perumusan tentang perjanjian Internasional jika dilakukan dalam Undang-undang tentang otonomi khusus , Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang otonomi kusus papua memuat perumusan sebagai berikut
“ Perjanjian internasional yang dibaut oleh pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan provinsi papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan gubernur dan sesuai peraturan perundang-undangan.”
Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 pemerintahan Aceh juga menyentuh Treaty making power , dengan rumusan :
“ Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan PA yang dibuat oleh pemerintah dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA .”
DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut   
a.    Memberikan Persetujuan terhadap kerjasama internasional yang dilakukan oleh PA .
b.    Memberikan pertimabangan terhadap rencana kerjasama internasional yang dibuat oleh pemerintah yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh.
Maraknya rumusan tentang Perjanjian internasional pada UU tentang otonomi khusus telah melahirkan kecendurungan pemikiran bahwa otonomi khusus harus dibekali dengan Treaty making power sekalipun pada tingkat yang masih rendah. Persoalan dasar untuk tuntutan pembentukan otonomi khusus adalah dalam rangka memberikan kewenangan daerah yang lebih luas terkait dengan kekhususannya . oleh sebab itu Treaty making power bukan merupakan solusi dan tidak ada kaitannya dengan kekhususannya.
Jika pembentukan otonomi benar-benar dibuat dalam kerangka negara kesatuan RI , maka Klausul treaty making power seyogiaya tidak diserahkan kedaerah otonomi dalam hal ini patut digaris bawahi bahwa treaty making power harus berada pada pemerintah pusat dan pengalihan kekuasaan ini ke Pemerintah Daerah akan menimbulkan kompilkasi yang memberikan seolah Pemerintah daerah otonomi khusus meraih atribut sebagai subjek hukum internsional. Jika atribut ini diperoleh maka potensi untuk menjadi pemerintah yang berdaulat semakin besar.
Kesepakatan kerjasama antara Pihak Asing dan Daerah dituangkan dalam bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan sesuai dengan pertimbangan Departemen Luar Negeri. Dalam hal diperlukan Surat Kuasa (Full Powers) dari Menteri Luar Negeri, dapat diberikan setelah dipenuhi persyaratan-persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku.    


III.              KESIMPULAN

Hukum perjanjian inernasional dewasa ini telah mengalami pergeseran radikal seiringa dengan perkembangan hukum inernasional. Hubungan-hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar , antara lain munculnya subjek-subjek baru non-negara disertai dengan meningkatnya interaksi yang intensif anatara subjek-subjek baru tersebut. Indonesia khususnya otonomi daerah dan lembaga non-pemerintahan yang interaksinya dengan elemenelemen asing sudah semakin meningkat.
pembentukan otonomi benar-benar dibuat dalam kerangka negara kesatuan RI , maka Klausul treaty making power seyogiaya tidak diserahkan kedaerah otonomi dalam hal ini patut digaris bawahi bahwa treaty making power harus berada pada pemerintah pusat dan pengalihan kekuasaan ini ke Pemerintah Daerah akan menimbulkan kompilkasi yang memberikan seolah Pemerintah daerah otonomi khusus meraih atribut sebagai subjek hukum internasional. Kesepakatan kerjasama antara Pihak Asing dan Daerah dituangkan dalam bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan sesuai dengan pertimbangan Departemen Luar Negeri dan diperlukan Surat Kuasa ( Full Power ) dari Menteri Luar Negeri.
 

Sumber : Agusman, Damos Dumoli , Kajian Teori dan Praktek Indonesia : Hukum Perjanjian Internasional , PT. Reflika Aditama : Bandung 2010
By Fajar Ilham Mahafi
     FH UNDIP  ' Nol Sembilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar