I.
PENDAHULUAN
Globalisasi yang mewarnai sistem
internasional saat ini telah pula menciptakan interaksi yang intensif antara
indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antarpemerintah tetapi
juga antarindividu. Interaksi ini akan mengakibatkan meningkatnya persentuhan-persentuhan
hukum antara indonesia dengan negara-negara lainnya dan bahkan dalam tingkat
tertentu akan menimbulkan tumpang tindih anatar hukum internasional dengan
hukum nasional dalam perjanjian internasional. Dengan fenomen ini, maka cepat
atau lambat , publik hukum indonesia di semua lini harus bersentuhan dengan
perjanjian internasional dan akan semakin menepis anggapan bahwa hukum
perjanjian internasional bukan hanya milik diplomatik saja.
Status negara sebagai subjek hukum
internasional juga mengalamki erosi khususnya terhadap konsep tradisonal dasar
mengenai kedaulatan. Hal ini di tandai dengan kecendurungan bahwa perbuatan
negara yang bersifat komersial tidak lagi termasuk dalam doctrin act of state
yang mengakibatkan negara dengan atribut kedaulatannya tidak lagi bebas dari
tuntutan perdata., dan bahkan melahirkan konsep baru tentang state
responsibility yang memungkinkan aparatur negara dapat diklaim oleh pihak asing
, dan sebaliknya negara berhak mengajukan klaim atas nama warga negaranya. Di
lain pihak , terdapat pula adanya perluasan ruang lingkup yuridikasi pengadilan
di negara-negara asing yang sedikit banyak bersentuhan dengan negara lain
sebagai subjek hukum.
Hukum perjanjian inernasional dewasa
ini telah mengalami pergeseran radikal seiringa dengan perkembangan hukum
inernasional. Hubungan-hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai
dengan perubahan-perubahan mendasar , antara lain munculnya subjek-subjek baru
non-negara disertai dengan meningkatnya interaksi yang intensif anatara
subjek-subjek baru tersebut. Indonesia khususnya otonomi daerah dan lembaga
non-pemerintahan yang interaksinya dengan elemenelemen asing sudah semakin
meningkat.
dalam hal ini terdapat beberapa
permasalahan yang timbul dibenak penulis , diantaranya perjanjian internasional
dan otonomi daerah, dan seberapa besar peran pemerintah daerah dalam pembuatan
perjanjian internasional. dan dalam bab selanjutnya penulis mencoba akan
menjelaskan mengenai hal tersebut berdasarkan uu no. 24 tahun 2000 tentang
perjanjian inernasional dan UU No. 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri
dan peraturan menteri luar negeri
peraturan menteri luar negeri nomor : 09/A/KP/xii/2006/01 tentang panduan umum tata cara hubungan dan kerjasama
luar negeri oleh pemerintah daerah dan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah
II. PEMBAHASAN
Seiring dengan proses reformasi Indonesia
yang salah satu pilar utamanya adalah pembentukan sistem otonomi daerah ,
Peranan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting sebagai salah satu aktor dalam
pelaksanaan hubungan internasional . hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-undang No. 37 tahun 1999 tentang
hubungan luar negeri sebagai berikut :
“
hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan
internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah , atau
lembaga –lembaganya , lembaga negara, badan usaha, organisasi politik ,
organisasi masyarakat, lemabaga sawadaya masyarakat , atau waraga negara .”
Undang-uandanag
No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah secara tidak langsung memuat
pasal tentang perjanjian internasional yaitu :
Pasal
42 ayat ( 1 ) Huruf f :
“
DPRD mempunyai tugas dan wewenang memeberikan pendapat dan pertimabngan kepada
pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah .”
Penjelasan
“ yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam ketentuan ini adalah
perjanjian antar pemerintah dengan pihak luar negeri yang terkait dengan
kepentingan daerah .”
Perumusan
Pasal ini tidak di dukung oleh konsepsi yang jelas tentang apa yang dimaksud
dengan perjanjian internasional dalam konteks pemerintah daerah. Dalam penjelasannya
hanya disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah.
Dari Praktik internasional , kekuasaan memebuat
perjanjian lainnya berada ditangan pemerintah pusat dan tidak dikenak adanya
perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pratek Indonesia
memang dikenal beberapa jenis dokumen yang berkaitan dengan pemerintah daerah yaitu
:
1. Dokumen
yang dibuat dan ditandantangani antar pemerintah daerah :
a.
MOU kota kembat / Provinsi Kembar ( Sister
City / Sister Province ) yang telah banyak dibuat oleh berbagai pemerintah
daerah.
b.
Perjanjian kerjasama teknik antara
Pemerintah daerah Aceh dengan Anwerpen , Belgia 1984
2. Dokumen
yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah:
a.
Pertukaran Nota 2000 dan 2001 RI – Jepang
tentang SDM Perikanan di Semarang dan Rural Water Supply di Sulawesi
b.
Perjanjian Ri- Singapura tentang Supply Air
dari Kepulauan Riau ke Singapura
c.
Perjanjian Ri – Singapura tentang kawasan
Ekonomi Khusus Batam, Bintan dan Karimun 2006
Jika yang dimaksud dengan perjanjian internasional oleh
Undang-undang ini adalah MOU Kota Kembar/Provinsi kembar maka dokumen ini belum
diakui sebagai memenuhi persyaratan sebagaisuatu perjanjian internasional
mengingat, para pihak tidak dimaksudkan untuk bertindak atas nama negara
melainkan bertindak atas nama lembaganya . Hal Ini semakin diperkuat dengan
pratik PBB yang tidak pernah menerima pendaftaran ( depository ) MOU semacam
ini berdasarkan Pasal 102 piagam PBB
Namun didalam pihak, seiring dengan pemahaman yang
distortif tentang perjanjian internasional, tidak pula dapat disangkal bahwa
dikalangan pemerintah sendiri masih menganggap MOU semacam ini sebagai
perjanjian internasional dengan pertimbangan bahwa karakternya adalah antar
pemerintah ( daerah ). pemerintah pusat termasuk kementrian Luar negeri masih
memerlukan Dokumen ini sebagai perjanjian internasional antara lain dengan
memberlakukan mekanisme seperti yang diatur oleh UU No. 24 tahun 2000 tentang
perjanjian ineternasional
Dengan demikian, jika bertolak dari definisi perjanjianinternasioanl
maka lebih tepat jika yang diamsudkan oleh Undang0uandang pemerintah daerah ini
adalah perjanjian yang dibuat oelh pemerintah pusat yang berkaitan dengan
kepentingan daerah jika kontruksi ini diambil maka akan memunculkan persoalan
juridis lain yaitu bahwa perjanjian ini melalui “ pendapat dan pertimbangan
dari DPRD yang disampaikan kepada pemerintah daerah mekanisme ini akan
memunculkan disebut Double Ratification , yaitu Ratifikasi oleh DPR dan DPRD.
Dalam Pratik Indonesia mekanisme ini tidak pernah dilakukan
Dalam Pratik Indonesia selama ini masih diarahkan Kepada
Pembuat MOU Kota/ Provinsi Kembar pemerintah daerah dengan negara asing , yang
ditandatangani oleh Kepala Daerah masing-masing , dengan demikian pratik ini
bukan dalam rangka pembuatan perjanjian internasioanl seperti yang dimaksud
dalam padal 42 huruf f UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tetapi
semata-mata pelaksanaan dari pasal 42 ayat ( 1 ) huruf g yaitu
“
DPRD mempunyai tugas dan wewenang memeberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. “
Dalam pemerintahan ini maka MOU Kota /Provinsi kembar
lebih tepat untuk diartikan sebagai kerjasama internsioanal ketimbang
perjanjian internasioanl sehingga lebih tepat tunduk pada pasal ini sebelum
membuat MOU ini pemerintah daerah harus memperoleh persetujuan dari DPRD.
Perumusan
tentang perjanjian Internasional jika dilakukan dalam Undang-undang tentang
otonomi khusus , Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang otonomi kusus papua
memuat perumusan sebagai berikut
“
Perjanjian internasional yang dibaut oleh pemerintah yang hanya terkait dengan
kepentingan provinsi papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan gubernur
dan sesuai peraturan perundang-undangan.”
Undang-undang
Nomor 11 tahun 2006 pemerintahan Aceh juga menyentuh Treaty making power ,
dengan rumusan :
“
Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan PA yang dibuat
oleh pemerintah dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA .”
DPRA
mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut
a. Memberikan
Persetujuan terhadap kerjasama internasional yang dilakukan oleh PA .
b. Memberikan
pertimabangan terhadap rencana kerjasama internasional yang dibuat oleh
pemerintah yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh.
Maraknya rumusan tentang Perjanjian internasional pada
UU tentang otonomi khusus telah melahirkan kecendurungan pemikiran bahwa
otonomi khusus harus dibekali dengan Treaty making power sekalipun pada tingkat
yang masih rendah. Persoalan dasar untuk tuntutan pembentukan otonomi khusus
adalah dalam rangka memberikan kewenangan daerah yang lebih luas terkait dengan
kekhususannya . oleh sebab itu Treaty making power bukan merupakan solusi dan
tidak ada kaitannya dengan kekhususannya.
Jika pembentukan otonomi benar-benar dibuat dalam
kerangka negara kesatuan RI , maka Klausul treaty making power seyogiaya tidak
diserahkan kedaerah otonomi dalam hal ini patut digaris bawahi bahwa treaty
making power harus berada pada pemerintah pusat dan pengalihan kekuasaan ini ke
Pemerintah Daerah akan menimbulkan kompilkasi yang memberikan seolah Pemerintah
daerah otonomi khusus meraih atribut sebagai subjek hukum internsional. Jika
atribut ini diperoleh maka potensi untuk menjadi pemerintah yang berdaulat
semakin besar.
Kesepakatan kerjasama antara Pihak Asing dan Daerah
dituangkan dalam bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan sesuai
dengan pertimbangan Departemen Luar Negeri. Dalam hal diperlukan Surat Kuasa (Full
Powers) dari Menteri Luar Negeri, dapat diberikan setelah dipenuhi
persyaratan-persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
III.
KESIMPULAN
Hukum perjanjian
inernasional dewasa ini telah mengalami pergeseran radikal seiringa dengan
perkembangan hukum inernasional. Hubungan-hubungan internasional akibat
globalisasi telah ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar , antara lain
munculnya subjek-subjek baru non-negara disertai dengan meningkatnya interaksi
yang intensif anatara subjek-subjek baru tersebut. Indonesia khususnya otonomi
daerah dan lembaga non-pemerintahan yang interaksinya dengan elemenelemen asing
sudah semakin meningkat.
pembentukan otonomi
benar-benar dibuat dalam kerangka negara kesatuan RI , maka Klausul treaty
making power seyogiaya tidak diserahkan kedaerah otonomi dalam hal ini patut
digaris bawahi bahwa treaty making power harus berada pada pemerintah pusat dan
pengalihan kekuasaan ini ke Pemerintah Daerah akan menimbulkan kompilkasi yang
memberikan seolah Pemerintah daerah otonomi khusus meraih atribut sebagai
subjek hukum internasional. Kesepakatan kerjasama antara Pihak Asing dan Daerah
dituangkan dalam bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan sesuai
dengan pertimbangan Departemen Luar Negeri dan diperlukan Surat Kuasa ( Full
Power ) dari Menteri Luar Negeri.
Sumber : Agusman,
Damos Dumoli , Kajian Teori dan Praktek
Indonesia : Hukum Perjanjian Internasional , PT. Reflika Aditama : Bandung
2010
By Fajar Ilham Mahafi
FH UNDIP ' Nol Sembilan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar